Rabu, 14 Maret 2012

Senyum Kesedihan


         Hari ini aku sungguh terkejut ketika melihat guruku berdiri di depanku. Aku tak bisa menghindari dengan guru matematika ini. Aku belum tahu apa yang dikerjakan Pak Surya di kantin sekolah ini. Gelisahku merebak. Detak jantung berpacu cepat. Mungkin aku akan mendapat hukuman karena aku membolos kemarin. Mungkin juga akan ditanyai tentang tugas latihanku yang belum diserahkan dua minggu yang lalu. Berbagai prasangka semakin bermunculan di dalam ubun-ubunku. Namun, aku ingin tetap tenang menghadapi masalah ini.
Namun, Pak Surya hanya memberi senyum padaku. Lantas keluar dari kantin dengan membawa barang yang dibelinya. Di luar dari yang kusangka. Naluriku mengatakan sesuatu yang mengherankan.
Yang paling Pak Surya adalah guru yang yang menakutkan siswa dan suka marah. Ah, tetapi kurang tepat gelar itu bagiku seperti yang disebut-sebut teman-temanku.
Aku tetap duduk di bangku kantin sekolah ini. Sebenarnya aku sedang memikirkan masa depanku setelah lulus dari SMA ini. Mungkinkah aku dapat meneruskan mengenyam  pendidikan? Sebulan ke depan aku akan menghadapi ujian akhir nasional. Dalam hatiku, aku harus optimis bisa lulus ujian ini. Aku harus bisa membanggakan orang tuaku. Meskipun nilai standar kelulusan tiap tahun dinaikkan pemerintah.
Masa modern ini memang susah bagiku melanjutkan pendidikan. Bukan hanya aku, namun banyak lagi yang tidak bisa mengenyam pendidikan seperti aku ini. Masuk kuliah di perguruan tinggi paling tidak harus mempunyai uang jutaan rupiah. Itu belum termasuk biaya hidup sehari-hari. Sayang sekali program sekolah gratis yang diiklankan di TV selama ini hanya untuk SD dan SMP saja, lagi-lagi itu hanya untuk sekolah berstatus negeri dan yang gratis cuma SPP-nya. Sangat ironis bangsa Indonesia ini, padahal negara Indonesia ini kaya raya akan sumber daya alam.
Di sini sudah hampir setengah jam kuhabiskan waktu. Seharusnya waktu untuk belajar. Aku bukannya membolos sekolah hari ini. Namun hari ini jam pelajaran sejarah, guru pengajarnya tidak masuk kerja. Kata temanku guru sejarah itu sedang menderita sakit ginjal dan mau operasi hari ini. Aku merasa kasihan dan membantu hanya dengan memanjatkan doa keselamatan bagi guruku. Ini adalah masa laluku ketika sekolah SMA.
***
Sore hari, kota Banjarmasin telah diguyur hujan deras. Aku merenung dengan duduk sambil membaca buku novel “Salah Asuhan”. Dari tempat dudukku yang berbatasan kaca jendela. Aku seakan-akan bisa menghitung biji-bijian hujan yang turun membasahi pelataran samping rumahku. Hembusan angin yang sangat kencang sampai-sampai membuat rumahku bergoyang. Seperti itu pula kehidupanku yang menghantui pikiranku selama ini.
Alangkah indah, bahagia, dan menenteramkan hidupku ini, jikalau masih ada sosok ibuku yang penyayang. Terus terang, kalau bicara tentang ibuku, banyak sekali tersimpan kenanganku tentang kasih sayang ibuku. Sejak kanak-kanak, aku selalu kagum padanya ketika mengajariku membaca dan menulis, dengan mengorbankan waktu istirahatnya. Membelaiku ketika aku sedang sakit, juga memukulku jika aku berbuat nakal dan bandel.
“Nak…, sekolah yang rajin ya. Ibu sangat bangga dengan dirimu, nanti ibu beri hadiah tas baru untukmu,” begitu kata ibu ketika aku lulus SD dan meraih juara kedua.
Ketika aku menginjak usia enam belas tahun, ternyata ibu sudah meninggalku. Ia sudah tidur lelap lebih dulu untuk selamanya. Kanker ganas menjadikan pertemuan kami waktu itu pertemuan yang terakhir. Di atas ranjang besi, ia tergolek lemah tak berdaya. Ia menatapku dengan pandangan penuh linangan air mata. Tiada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Tetapi, dari pandangan matanya, aku dapat mengerti, ibu pun merasa berat untuk berpisah denganku.
Kurasakan tangannya yang dingin membeku dari awalnya kurasakan hangat. Waktu itu aku hanya bisa mengucurkan air mata. Kupeluk erat diri ibu dengan harapan bisa membuka matanya kembali. Namun ibuku diam terbujur kaku.
Sejak itu kulalui hari-hari masa remajaku tanpa seorang ibu. Ayahku mengawini seorang janda, Bu Fauziah namanya. Setelah empat bulan dari hari ibuku meninggal, ayahku mengawini ibu itu, yang mempunyai seorang anak  perempuan yang usianya sebaya denganku. Bu Fauziah ternyata tak mampu menggantikan kedudukan ibu di hatiku ini. Sedang ayah tidak pernah menyediakan waktu khusus denganku. Ditambah lagi dengan adanya Maisarah, anak Bu Fauziah, membuat seisi rumah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Duniaku semakin sunyi.
Menjalani kehidupan pada usia remajaku seperti dulu sampai sekarang ini, sudah banyak hilang sesuatu dalam diriku ini. Namun, dalam hati mudaku tidak mengerti. Yang kutahu, aku kehilangan kasih sayang, terutama kasih sayang ayah dan ibu.
Kehidupan ayahku sekarang ini telah banyak mengalami kesusahan dan penderitaan. Hati ayahku terpukul setelah isteri yang dicintainya, Bu Fauziah telah tewas dalam kecelakaan bus yang ditumpanginya. Ketika itu, ibu tiriku pulang dari Palangkaraya menjenguk keponakannya yang sakit.
Setelah kejadian itu, ayahku tinggal bersamaku sampai sekarang ini, sedangkan saudara tiriku, Maisarah tinggal bersama saudara ibunya di Palangkaraya. Aku sangat jarang bertemu dengan Maisarah. Kabarnya dia kuliah ke Yogyakarta. Kota pendidikan.
Aku menghela napas panjang. Cuplikan-cuplikan masa lalu berlompatan di otakku. Aku jadi sibuk mengumpulkannya menjadi sebuah rangkuman renungan. Dan dalam benakku bagaikan proyektor yang mengulang-ngulang kembali seakan-akan semua itu terjadi beberapa hari yang lalu. Rangkuman renungan yang tidak pernah selesai, tidak ada ujung ceritanya kata hatiku.
Pandangan mataku yang liar telah tertuju ke sebuah foto perpisahan pada lulus SMA. Di foto itu ada gambar Pak Surya, guru matematika. Pak surya yang mengajariku bahwa belajar matematika itu sangat mudah jika belajar sungguh-sungguh. Anganku kembali melemparku tentang senyuman Pak Surya ketika aku menyendiri di kantin sekolah.
Anganku menjadi memantul dengan senyuman itu, yang mengingatkanku dengan lelaki yang berusia dua puluh dua tahun. Faisal namanya. Ia anak rekan bisnis ayahku. Kebetulan kami bertemu saat pesta perkawinan kakaknya. Senyuman tajamnya langsung mendebarkan hatiku yang tersembunyi ketika kami berjabat tangan untuk pertama kali. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hubungan kami semakin lama semakin dekat. Hidupnya telah memberikan keramaian duniaku yang semula sunyi.
Hatiku ingin tahu, apakah perasaan itu namanya cinta? Seandainya ibu masih hidup, aku akn menceritakan dan mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta. Orang bilang bercinta bagaikan memasuki dunia tanpa musim. Di sana kita bisa ceria tetapi tidak sepenuh hati, dan bisa menangis tanpa menghabiskan air mata. Aku tidak tahu banyak tentang hakikat cinta. Namun, Faisal terus membawaku melayang ke dunia yang penuh senyum. Tidak ada semenit pun terlewatkan tanpa senyuman. Senyuman yang melayang-layangkan hati yang sunyi.
Setahun kemudian Faisal menyelesaikan kuliahnya dan mengambil program S2-nya di Yogyakarta. Semanjak itu, hubungan kami mulai hilang arah. Kepergiannya ke Yogyakarta tanpa ada pemberitahuan kepadaku. Aku mengetahui ketika mau bertemu ke rumahnya. Namun, Faisal telah pindah rumah ke Yogyakarta kata tetangganya.
Aku tidak ada lagi kontak komunikasi dengan lelaki yang tidak bertanggung jawab itu. Padahal aku sulit untuk berpisah seperti ini. Aku tak sanggup menahan hatiku yang perih ini. Rasa sedihku semakin menjadi-jadi, ketika ayahku mengetahui aku telah hamil selama tiga bulan sudah. Bahkan aku sempat mau berencana bunuh diri, namun rencana itu diketahui ayahku. Ayahku tak tega mengusir aku dari rumah. Ayahku menyadari dan mengakui salah. Selama ini ayah jarang memberikan kasih sayang padaku. Ayah hanya mengurus pekerjaan bisnisnya.
Mataku mendadak merebak basah. Perasaan haru menyesak dadaku. Air mataku berjatuhan sepert hujan yang turun di sore hari ini.
***
Malam yang dingin ini, aku mengelus-elus anakku yang tidak berdosa ini. Mataku memandang jam bundar  barwarna kuning yang ada di dinding kamarku. Jarumnya menunjuk angka pukul dua belas. Namun, rasa kantuk belum mendekati pelupuk mataku. Bahkan rasa sesal pada diri sendiri membukit melindungi warna jiwa.
“Lucu sekali anakmu, anak pertama, ya?” perempuan di sampingku bertanya ketika membawa anakku imunisasi di puskesmas. Aku tersenyum.
“Hem.. ya.” Aku menjawab pertanyaan perempuan itu dengan timbunan perasaan yang bercampur menjadi satu rasa.
“Ini juga anak pertamaku, sayang ayahnya sudah meninggal akibat tertabrak truk batu bara.” Perempuan itu menceritakan tanpa aku minta.
Aku hanya menjawabnya “Oh… ya.” Aku lebih banyak diam sambil menunggu giliran masuk.
Di depan pintu, kulihat seorang laki-laki berkumis tipis. Berdiri dengan wajah harap-harap cemas. Pasti suami perempuan yang mau melahirkan yang lewat di depan aku duduk di sini. Ah… beruntung sekali perempuan itu.
Lembaran renunganku kini terbuka lagi. Teringat pada laki-laki yang cemas pada isteri yang mau melahirkan siang tadi. Betapa indah dan manisnya kasih sayang suami perempuan itu. Beruntung sekali perempuan itu mempunyai semacam itu. Sedangkan aku, aku berjuang di antara hidup mati sendirian, kontraksi-kontraksi ototku yang menggerakkan rahimku, tulang-belulang yang seakan lepas satu persatu dari persendiannya. Bibirku sampai putih pucat akibat kugigit menahan rintih kesakitan, dan setelah tiga jam setengah kurasakan sakit, si jabang bayi itu lahir.
Kenyataan mengombang-ambingkan diriku bagai gelombang yang tinggi. Pecah ketika menghantam batu karang yang kokoh berada. Aku berusaha menghilangkan sagala memori itu. Dalam benakku aku harus bangkit dari hamburan-hamburan impianku. Masih ada waktu hari besok untuk mengumpul serak-serak impian.
***
Aku bangun pagi dengan jiwa berpengharapan. Sang surya pagi menembus menyinari batinku yang masih gelap di batasi pengalaman hidupku. Hembusan dingin embun membuat semangatku terasa masih ada, meskipun mataku masih terpatri kantuk. Memang malam tadi aku baru tidur jauh malam. Aku ingin menjadi diriku sendiri hari ini.
Aku menyiapkan sarapan untuk suamiku yang mungkin tidak kucintai ini, namun perasaan cinta kepadanya terus kubangun. Aku bukan terpaksa dinikahinya, tapi ini sesuatu yang terbaik bagiku, meskipun senyumannya tak seperti ayah anak yang lucu ini. Ah, lagi-lagi teringat dia.
Aku pun akan berangkat kerja dengan suamiku. Aku bekerja sebagai karyawan dari dinas perhubungan. Suamiku bekerja di bank konvensional, hanya sebagai kepala staf bagian umum. Karena di rumah kami hanya bertiga, maka anakku kutitipkan di tempat penitipan anak. Sedangkan ayahku sudah dua bulan berada di sel, karena di tangkap polisi karena ketahuan menjual sabu-sabu.
“Santy, aku ada berita gembira bagimu, minggu depan kita akan berangkat ke Yogyakarta.”  Kata suamiku dengan nada gembira memberitakan kepadaku.
“Ada apa kita berangkat ke Yoyakarta, liburan ya, Pak?” Tanyaku dengan penasaran. Kota Yogyakarta mengingatkanku dengan lelaki itu.
“Kemarin aku dapat undangan perkawinan keponakanku di Yogyakarta, namanya Faisal Rijali.” Kata suamiku membuat pikiranku bergejolak panas setelah mendengar nama itu. Ditambah lagi, kulihat undangan itu tertera nama mempelai perempuan, Maisarah, saudara tiriku yang juga kuliah di Yogyakarta.
Aku seakan tidak berdiri di atas kakiku sendiri. Dunia berputar lebih cepat meruntuhkan hatiku yang mulai tempa untuk bangkit. Kurasakan gula-gula termanis mendadak berubah empedu ayam. Aku berontak pada nasib yang mengucilkanku. Aku benci kepada lelaki yang mengkhianati cintaku. Matahari pagi tiba-tiba mengendorkan sinarnya seperti semangatku yang tergoyang lagi.[] Oleh : Ahmad Rif’an.




            

0 komentar:

Posting Komentar

Kamus Bahasa Indonesia


Jual rumah Kelapa Gading