Hari ini aku sungguh terkejut ketika melihat guruku berdiri di depanku.
Aku tak bisa menghindari dengan guru matematika ini. Aku belum tahu apa yang
dikerjakan Pak Surya di kantin sekolah ini. Gelisahku merebak. Detak jantung
berpacu cepat. Mungkin aku akan mendapat hukuman karena aku membolos kemarin.
Mungkin juga akan ditanyai tentang tugas latihanku yang belum diserahkan dua
minggu yang lalu. Berbagai prasangka semakin bermunculan di dalam ubun-ubunku.
Namun, aku ingin tetap tenang menghadapi masalah ini.
Namun, Pak Surya hanya memberi senyum padaku. Lantas keluar dari kantin
dengan membawa barang yang dibelinya. Di luar dari yang kusangka. Naluriku
mengatakan sesuatu yang mengherankan.
Yang paling Pak Surya adalah guru yang yang menakutkan siswa dan suka marah. Ah, tetapi kurang tepat gelar itu bagiku seperti yang disebut-sebut teman-temanku.
Yang paling Pak Surya adalah guru yang yang menakutkan siswa dan suka marah. Ah, tetapi kurang tepat gelar itu bagiku seperti yang disebut-sebut teman-temanku.
Aku tetap duduk di bangku kantin sekolah ini. Sebenarnya aku sedang
memikirkan masa depanku setelah lulus dari SMA ini. Mungkinkah aku dapat
meneruskan mengenyam pendidikan? Sebulan
ke depan aku akan menghadapi ujian akhir nasional. Dalam hatiku, aku harus optimis
bisa lulus ujian ini. Aku harus bisa membanggakan orang tuaku. Meskipun nilai
standar kelulusan tiap tahun dinaikkan pemerintah.
Masa modern ini memang susah bagiku melanjutkan pendidikan. Bukan hanya
aku, namun banyak lagi yang tidak bisa mengenyam pendidikan seperti aku ini.
Masuk kuliah di perguruan tinggi paling tidak harus mempunyai uang jutaan
rupiah. Itu belum termasuk biaya hidup sehari-hari. Sayang sekali program
sekolah gratis yang diiklankan di TV selama ini hanya untuk SD dan SMP saja,
lagi-lagi itu hanya untuk sekolah berstatus negeri dan yang gratis cuma SPP-nya.
Sangat ironis bangsa Indonesia ini, padahal negara Indonesia ini kaya raya akan
sumber daya alam.
Di sini sudah hampir setengah jam kuhabiskan waktu. Seharusnya waktu
untuk belajar. Aku bukannya membolos sekolah hari ini. Namun hari ini jam
pelajaran sejarah, guru pengajarnya tidak masuk kerja. Kata temanku guru
sejarah itu sedang menderita sakit ginjal dan mau operasi hari ini. Aku merasa
kasihan dan membantu hanya dengan memanjatkan doa keselamatan bagi guruku. Ini
adalah masa laluku ketika sekolah SMA.
***
Sore hari, kota Banjarmasin telah diguyur hujan deras. Aku merenung
dengan duduk sambil membaca buku novel “Salah Asuhan”. Dari tempat dudukku yang
berbatasan kaca jendela. Aku seakan-akan bisa menghitung biji-bijian hujan yang
turun membasahi pelataran samping rumahku. Hembusan angin yang sangat kencang
sampai-sampai membuat rumahku bergoyang. Seperti itu pula kehidupanku yang
menghantui pikiranku selama ini.
Alangkah indah, bahagia, dan menenteramkan hidupku ini, jikalau masih ada
sosok ibuku yang penyayang. Terus terang, kalau bicara tentang ibuku, banyak
sekali tersimpan kenanganku tentang kasih sayang ibuku. Sejak kanak-kanak, aku
selalu kagum padanya ketika mengajariku membaca dan menulis, dengan
mengorbankan waktu istirahatnya. Membelaiku ketika aku sedang sakit, juga
memukulku jika aku berbuat nakal dan bandel.
“Nak…, sekolah yang rajin ya. Ibu sangat bangga dengan dirimu, nanti ibu
beri hadiah tas baru untukmu,” begitu kata ibu ketika aku lulus SD dan meraih
juara kedua.
Ketika aku menginjak usia enam belas tahun, ternyata ibu sudah
meninggalku. Ia sudah tidur lelap lebih dulu untuk selamanya. Kanker ganas
menjadikan pertemuan kami waktu itu pertemuan yang terakhir. Di atas ranjang
besi, ia tergolek lemah tak berdaya. Ia menatapku dengan pandangan penuh
linangan air mata. Tiada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Tetapi, dari pandangan
matanya, aku dapat mengerti, ibu pun merasa berat untuk berpisah denganku.
Kurasakan tangannya yang dingin membeku dari awalnya kurasakan hangat.
Waktu itu aku hanya bisa mengucurkan air mata. Kupeluk erat diri ibu dengan
harapan bisa membuka matanya kembali. Namun ibuku diam terbujur kaku.
Sejak itu kulalui hari-hari masa remajaku tanpa seorang ibu. Ayahku
mengawini seorang janda, Bu Fauziah namanya. Setelah empat bulan dari hari
ibuku meninggal, ayahku mengawini ibu itu, yang mempunyai seorang anak perempuan yang usianya sebaya denganku. Bu
Fauziah ternyata tak mampu menggantikan kedudukan ibu di hatiku ini. Sedang
ayah tidak pernah menyediakan waktu khusus denganku. Ditambah lagi dengan
adanya Maisarah, anak Bu Fauziah, membuat seisi rumah sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing. Duniaku semakin sunyi.
Menjalani kehidupan pada usia remajaku seperti dulu sampai sekarang ini,
sudah banyak hilang sesuatu dalam diriku ini. Namun, dalam hati mudaku tidak
mengerti. Yang kutahu, aku kehilangan kasih sayang, terutama kasih sayang ayah
dan ibu.
Kehidupan ayahku sekarang ini telah banyak mengalami kesusahan dan
penderitaan. Hati ayahku terpukul setelah isteri yang dicintainya, Bu Fauziah
telah tewas dalam kecelakaan bus yang ditumpanginya. Ketika itu, ibu tiriku
pulang dari Palangkaraya menjenguk keponakannya yang sakit.
Setelah kejadian itu, ayahku tinggal bersamaku sampai sekarang ini,
sedangkan saudara tiriku, Maisarah tinggal bersama saudara ibunya di
Palangkaraya. Aku sangat jarang bertemu dengan Maisarah. Kabarnya dia kuliah ke
Yogyakarta. Kota pendidikan.
Aku menghela napas panjang. Cuplikan-cuplikan masa lalu berlompatan di
otakku. Aku jadi sibuk mengumpulkannya menjadi sebuah rangkuman renungan. Dan
dalam benakku bagaikan proyektor yang mengulang-ngulang kembali seakan-akan
semua itu terjadi beberapa hari yang lalu. Rangkuman renungan yang tidak pernah
selesai, tidak ada ujung ceritanya kata hatiku.
Pandangan mataku yang liar telah tertuju ke sebuah foto perpisahan pada
lulus SMA. Di foto itu ada gambar Pak Surya, guru matematika. Pak surya yang
mengajariku bahwa belajar matematika itu sangat mudah jika belajar
sungguh-sungguh. Anganku kembali melemparku tentang senyuman Pak Surya ketika
aku menyendiri di kantin sekolah.
Anganku menjadi memantul dengan senyuman itu, yang mengingatkanku dengan
lelaki yang berusia dua puluh dua tahun. Faisal namanya. Ia anak rekan bisnis
ayahku. Kebetulan kami bertemu saat pesta perkawinan kakaknya. Senyuman
tajamnya langsung mendebarkan hatiku yang tersembunyi ketika kami berjabat
tangan untuk pertama kali. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hubungan
kami semakin lama semakin dekat. Hidupnya telah memberikan keramaian duniaku
yang semula sunyi.
Hatiku ingin tahu, apakah perasaan itu namanya cinta? Seandainya ibu
masih hidup, aku akn menceritakan dan mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta.
Orang bilang bercinta bagaikan memasuki dunia tanpa musim. Di sana kita bisa
ceria tetapi tidak sepenuh hati, dan bisa menangis tanpa menghabiskan air mata.
Aku tidak tahu banyak tentang hakikat cinta. Namun, Faisal terus membawaku
melayang ke dunia yang penuh senyum. Tidak ada semenit pun terlewatkan tanpa
senyuman. Senyuman yang melayang-layangkan hati yang sunyi.
Setahun kemudian Faisal menyelesaikan kuliahnya dan mengambil program
S2-nya di Yogyakarta. Semanjak itu, hubungan kami mulai hilang arah.
Kepergiannya ke Yogyakarta tanpa ada pemberitahuan kepadaku. Aku mengetahui
ketika mau bertemu ke rumahnya. Namun, Faisal telah pindah rumah ke Yogyakarta kata
tetangganya.
Aku tidak ada lagi kontak komunikasi dengan lelaki yang tidak bertanggung
jawab itu. Padahal aku sulit untuk berpisah seperti ini. Aku tak sanggup
menahan hatiku yang perih ini. Rasa sedihku semakin menjadi-jadi, ketika ayahku
mengetahui aku telah hamil selama tiga bulan sudah. Bahkan aku sempat mau
berencana bunuh diri, namun rencana itu diketahui ayahku. Ayahku tak tega
mengusir aku dari rumah. Ayahku menyadari dan mengakui salah. Selama ini ayah
jarang memberikan kasih sayang padaku. Ayah hanya mengurus pekerjaan bisnisnya.
Mataku mendadak merebak basah. Perasaan haru menyesak dadaku. Air mataku
berjatuhan sepert hujan yang turun di sore hari ini.
***
Malam yang dingin ini, aku mengelus-elus anakku yang tidak berdosa ini.
Mataku memandang jam bundar barwarna
kuning yang ada di dinding kamarku. Jarumnya menunjuk angka pukul dua belas.
Namun, rasa kantuk belum mendekati pelupuk mataku. Bahkan rasa sesal pada diri
sendiri membukit melindungi warna jiwa.
“Lucu sekali anakmu, anak pertama, ya?” perempuan di sampingku bertanya
ketika membawa anakku imunisasi di puskesmas. Aku tersenyum.
“Hem.. ya.” Aku menjawab pertanyaan perempuan itu dengan timbunan
perasaan yang bercampur menjadi satu rasa.
“Ini juga anak pertamaku, sayang ayahnya sudah meninggal akibat tertabrak
truk batu bara.” Perempuan itu menceritakan tanpa aku minta.
Aku hanya menjawabnya “Oh… ya.” Aku lebih banyak diam sambil menunggu
giliran masuk.
Di depan pintu, kulihat seorang laki-laki berkumis tipis. Berdiri dengan
wajah harap-harap cemas. Pasti suami perempuan yang mau melahirkan yang lewat
di depan aku duduk di sini. Ah… beruntung sekali perempuan itu.
Lembaran renunganku kini terbuka lagi. Teringat pada laki-laki yang cemas
pada isteri yang mau melahirkan siang tadi. Betapa indah dan manisnya kasih
sayang suami perempuan itu. Beruntung sekali perempuan itu mempunyai semacam
itu. Sedangkan aku, aku berjuang di antara hidup mati sendirian,
kontraksi-kontraksi ototku yang menggerakkan rahimku, tulang-belulang yang
seakan lepas satu persatu dari persendiannya. Bibirku sampai putih pucat akibat
kugigit menahan rintih kesakitan, dan setelah tiga jam setengah kurasakan
sakit, si jabang bayi itu lahir.
Kenyataan mengombang-ambingkan diriku bagai gelombang yang tinggi. Pecah
ketika menghantam batu karang yang kokoh berada. Aku berusaha menghilangkan
sagala memori itu. Dalam benakku aku harus bangkit dari hamburan-hamburan
impianku. Masih ada waktu hari besok untuk mengumpul serak-serak impian.
***
Aku bangun pagi dengan jiwa berpengharapan. Sang surya pagi menembus
menyinari batinku yang masih gelap di batasi pengalaman hidupku. Hembusan
dingin embun membuat semangatku terasa masih ada, meskipun mataku masih
terpatri kantuk. Memang malam tadi aku baru tidur jauh malam. Aku ingin menjadi
diriku sendiri hari ini.
Aku menyiapkan sarapan untuk suamiku yang mungkin tidak kucintai ini,
namun perasaan cinta kepadanya terus kubangun. Aku bukan terpaksa dinikahinya,
tapi ini sesuatu yang terbaik bagiku, meskipun senyumannya tak seperti ayah
anak yang lucu ini. Ah, lagi-lagi teringat dia.
Aku pun akan berangkat kerja dengan suamiku. Aku bekerja sebagai karyawan
dari dinas perhubungan. Suamiku bekerja di bank konvensional, hanya sebagai kepala
staf bagian umum. Karena di rumah kami hanya bertiga, maka anakku kutitipkan di
tempat penitipan anak. Sedangkan ayahku sudah dua bulan berada di sel, karena
di tangkap polisi karena ketahuan menjual sabu-sabu.
“Santy, aku ada berita gembira bagimu, minggu depan kita akan berangkat
ke Yogyakarta.” Kata suamiku dengan nada
gembira memberitakan kepadaku.
“Ada apa kita berangkat ke Yoyakarta, liburan ya, Pak?” Tanyaku dengan
penasaran. Kota Yogyakarta mengingatkanku dengan lelaki itu.
“Kemarin aku dapat undangan perkawinan keponakanku di Yogyakarta, namanya
Faisal Rijali.” Kata suamiku membuat pikiranku bergejolak panas setelah
mendengar nama itu. Ditambah lagi, kulihat undangan itu tertera nama mempelai
perempuan, Maisarah, saudara tiriku yang juga kuliah di Yogyakarta.
Aku seakan tidak berdiri di atas kakiku sendiri. Dunia berputar lebih
cepat meruntuhkan hatiku yang mulai tempa untuk bangkit. Kurasakan gula-gula
termanis mendadak berubah empedu ayam. Aku berontak pada nasib yang
mengucilkanku. Aku benci kepada lelaki yang mengkhianati cintaku. Matahari pagi
tiba-tiba mengendorkan sinarnya seperti semangatku yang tergoyang lagi.[] Oleh : Ahmad Rif’an.
0 komentar:
Posting Komentar